(Catatan kecil ini sengaja
kutulis, sebab aku tidak ingin kehangatan malam itu hilang ditelan kota Jogja
dan waktu. Catatan ini, entah berapa puluh tahun lagi akan tetap bisa aku baca
sebagai pengingat aku pernah mengenalmu. Aku takut, perjalanan kehidupan
membuat ingatanku perlahan pudar sebab digantikan memori-memori lainnya)
Apa itu Yogya? aku tak bisa
menjawabnya, biarkan semua yang pernah ke Yogya menerjemahkan sendiri, sebab
Yogya bagi setiap pribadi yang pernah singgah akan memiliki pengertian
tersendiri, termasuk diriku. Bagiku Yogya adalah segala rasa. Di Yogya, tidak
ada satupun rasa yang luput dari diriku.
Malam itu, Yogya yang manis
diguyur gerimis yang romantis. Di tengah malam yang mengaku dingin, aku
menemani seseorang untuk menyapa Jogja dengan wajah yang baru. Aku baru
mengenalnya malam itu, kubawanya ia berjalan mengenal Jogja lebih jauh. Kududukkan
ia di Malioboro, menikmati sisa gerimis yang masih berbekas basah pada kursi
dan jalanan. Dari ujung ke ujung kami menelusuri jalanan, berbincang apa saja
(Dia yang paling banyak bercerita, dan aku menjadi pendengar yang baik), begitu
kiranya sepanjang perjalanan.
Sedikit aku bercerita padanya,
salah satunya aku menceritakan bangunan apa saja yang ada selama kami menelusur
jalan Malioboro yang sudah sunyi, tapi tak sepi. Waktu itu jam di tangannya
sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan aku memutuskan untuk tidak pulang ke
kos. Akan aku habiskan malam ini bersamanya. Sungguh, waktu begitu cepat saat
ia bercerita, tiba-tiba saja sudah pukul tiga pagi, padahal belum lama aku
masih melihat jam itu kokoh diangka satu malam.
Senyumku terus megembang saat mendengarkannya bercerita. Kubiarkan segala rasa
jatuh malam itu di hadapannya. Tidak ada perlawanan apa pun di dalam hatiku, yang
ada hanya bibirku ingin tersenyum lebar, jangan tanya megapa, aku pun masih
mencari jawab. Kuamati dia lewat diamku. Ku tatap dalam setiap ia bercerita,
mungkin ia takkan tau jika aku selalu melihatnya dalam setiap gerik. Begitulah
mataku bekerja malam itu. Tubuhku sedikit bergerak, tapi mataku sudah cukup
mewakili untuk melihat dirinya jauh. Ku amati dia dari segala sudut.
Tidak jauh dari tempatku dan dia duduk, beberapa satpam penjaga malam Malioboro
asik berkeliaran dengan sepedanya. Berkali-kali Pak Satpam melihatku yang
tengah duduk berdua dengannya. Aku sempat berpapas mata dengan Pak satpam, aku
ajak ia tersenyum, dan dibalasnya juga senyum. "Tenang Pak, kami hanya
menumpang duduk, tidak akan membuat ribut," Begitu bunyi senyumku untuk
Pak Satpam. Entah ia memahami atau tidak, namun itulah pesan senyumku.
Lelah kami duduk memandang langit dan malam Malioboro,
kuajak dia berkeliaran menelusuri kota Jogja dini itu. Subuh hampir
berkumandang, tapi aku masih memaksa mata untuk tidak menutup. Berat sudah
rasanya mataku saat itu untuk kuat, apalagi udara sepanjang jalan Jogja sedang
asik merayuku tidur di atas kendaraan, tapi aku tetap memaksa untuk tetap
terjaga, sebab esok Dia sudah harus kembali ke kotanya, meninggalkanku dan
Jogja. Ya, meninggalkanku entah untuk kembali atau tidak, sebab itu aku akan
menemaninya hingga nanti matahari terbit.
Kepulanganmu, meninggalkan kenangan.
Aku salah, kukira setelah aku
pagi itu berpisah degannya, aku takkan bisa lagi berkabar, atau setidaknya
menyapanya lewat media sosial. Ternyata Dia tidak demikian, Dia masih saja
mengirimku kabar tentangnya. Bahkan rencananya ia akan menambah liburan di
Jogja, namun aku tidak siap menemaninya, sebab kedatangannya pun ke Jogja
secara tiba-tiba. Tidak terencana di dalam kalenderku, sehingga jamuanku
padanya tak bisa 24 jam. Belum lagi kegiatanku di Jogja bersama saudaraku,
membuat aku tidak punya banyak waktu.
Dia mengambil keputusan untuk
kembali ke kotanya pukul tujuh malam. Saat itu, aku temani dia menunggui kereta
yang masih dua jam lagi datang. Di dalam stasiun, lagi-lagi ia bercerita
banyak. Ada saja bahan ceritanya, dan aku lagi-lagi menjadi pendengar yang baik
untuknya. Aku memang lebih suka mendengarkan manusia lain bercerita
dibandingkan aku yang harus bercerita. Ceritaku kata kebanyakan pendengar tak
asik untuk diceritakan lewat suara, aku lebih lihai bercerita lewat kata. Maka
jadilah aku perempuan si pendengar cerita banyak orang.
Berkali-kali aku perhatikan jam
digital stasiun, setiap detiknya menjadi cepat membawanya akan pulang. Dia
masih saja asik bercerita tentang hidupnya, seakan kepergiannya biasa saja,
sedang aku merasa gundah sendiri dalam hati sembari masih menampakkan senyumku.
Hatiku sudah gelisah saat jam digital itu menunjukkan pukul tujuh. Akhirnya aku
menyuruhnya masuk ke dalam ruang tunggu kereta agar ia tak tertinggal kereta.
Hatiku makin gelisah membawa ketenangan pergi. Kutatap tubuhnya sebelum ia
benar-benar hilang. Banyak kata yang sempat tak terucapkan, lebih tepatnya
takut aku ucapkan. Semua bergejolak dalam ruang hati, tentang aku takut tak
bisa melihatnya lagi, juga tentang bagaimana selanjutnya setelah ia kembali.
Ah, kubuang jauh kekhawatiran itu, dan kuberikan senyum terlebar saat ia
berdiri dan berpamit. Pesannya kuingat, katanya “jangan sedih,” dan aku
tersenyum lebar lagi. Dan ia berjalan mendekati pintu masuk. Kuantar dengan
tubuhku yang berdiri.
Kulihat ia berjalan menjauh.
Sesak hati tak bisa ku tahan, secepat kilat kuambil masker, dan mataku banjir
dengan airmata untuk alasan yang aku sendiri tidak memahami hingga tulisan ini
kubuat. Yang aku tau, aku tergelincir oleh rasa sedih. Harus mengikhlaskan
seseorang yang kurasa nyaman pergi ke kota yang aku tak tahu bagaimana ia di
sana. Kubiarkan diriku sesak sesaat dalam tangis di dalam stasiun, sembari
mengenang beberapa menit lalu ada seseorang duduk di sampingku, dan kini kursi
itu kosong, hanya bekas bayangannya saja yang tertinggal.
Tangisku harus aku bunuh. Aku
berjalan meninggalkan stasiun ini dan aku kembali dengan senyum lebarku di
sepanjang jalan. Tak boleh ada jejak airmata sebab setelah ini kehidupan lain
memintaku untuk tersenyum kembali.
“Mari hati, rayakan perjalanan
dengannya sejenak itu dengan sebuah senyuman hangat.”
No comments:
Post a Comment