Sunday 12 February 2017

Catatan Kecil untuk Jogja yang Romantis.



(Catatan kecil ini sengaja kutulis, sebab aku tidak ingin kehangatan malam itu hilang ditelan kota Jogja dan waktu. Catatan ini, entah berapa puluh tahun lagi akan tetap bisa aku baca sebagai pengingat aku pernah mengenalmu. Aku takut, perjalanan kehidupan membuat ingatanku perlahan pudar sebab digantikan memori-memori lainnya)

Apa itu Yogya? aku tak bisa menjawabnya, biarkan semua yang pernah ke Yogya menerjemahkan sendiri, sebab Yogya bagi setiap pribadi yang pernah singgah akan memiliki pengertian tersendiri, termasuk diriku. Bagiku Yogya adalah segala rasa. Di Yogya, tidak ada satupun rasa yang luput dari diriku. 
Malam itu, Yogya yang manis diguyur gerimis yang romantis. Di tengah malam yang mengaku dingin, aku menemani seseorang untuk menyapa Jogja dengan wajah yang baru. Aku baru mengenalnya malam itu, kubawanya ia berjalan mengenal Jogja lebih jauh. Kududukkan ia di Malioboro, menikmati sisa gerimis yang masih berbekas basah pada kursi dan jalanan. Dari ujung ke ujung kami menelusuri jalanan, berbincang apa saja (Dia yang paling banyak bercerita, dan aku menjadi pendengar yang baik), begitu kiranya sepanjang perjalanan.
Sedikit aku bercerita padanya, salah satunya aku menceritakan bangunan apa saja yang ada selama kami menelusur jalan Malioboro yang sudah sunyi, tapi tak sepi. Waktu itu jam di tangannya sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan aku memutuskan untuk tidak pulang ke kos. Akan aku habiskan malam ini bersamanya. Sungguh, waktu begitu cepat saat ia bercerita, tiba-tiba saja sudah pukul tiga pagi, padahal belum lama aku masih melihat jam itu kokoh diangka satu malam.
          Senyumku terus megembang saat mendengarkannya bercerita. Kubiarkan segala rasa jatuh malam itu di hadapannya. Tidak ada perlawanan apa pun di dalam hatiku, yang ada hanya bibirku ingin tersenyum lebar, jangan tanya megapa, aku pun masih mencari jawab. Kuamati dia lewat diamku. Ku tatap dalam setiap ia bercerita, mungkin ia takkan tau jika aku selalu melihatnya dalam setiap gerik. Begitulah mataku bekerja malam itu. Tubuhku sedikit bergerak, tapi mataku sudah cukup mewakili untuk melihat dirinya jauh. Ku amati dia dari segala sudut.
         Tidak jauh dari tempatku dan dia duduk, beberapa satpam penjaga malam Malioboro asik berkeliaran dengan sepedanya. Berkali-kali Pak Satpam melihatku yang tengah duduk berdua dengannya. Aku sempat berpapas mata dengan Pak satpam, aku ajak ia tersenyum, dan dibalasnya juga senyum. "Tenang Pak, kami hanya menumpang duduk, tidak akan membuat ribut," Begitu bunyi senyumku untuk Pak Satpam. Entah ia memahami atau tidak, namun itulah pesan senyumku.
            Lelah kami duduk memandang langit dan malam Malioboro, kuajak dia berkeliaran menelusuri kota Jogja dini itu. Subuh hampir berkumandang, tapi aku masih memaksa mata untuk tidak menutup. Berat sudah rasanya mataku saat itu untuk kuat, apalagi udara sepanjang jalan Jogja sedang asik merayuku tidur di atas kendaraan, tapi aku tetap memaksa untuk tetap terjaga, sebab esok Dia sudah harus kembali ke kotanya, meninggalkanku dan Jogja. Ya, meninggalkanku entah untuk kembali atau tidak, sebab itu aku akan menemaninya hingga nanti matahari terbit.
Kepulanganmu, meninggalkan kenangan.
              Aku salah, kukira setelah aku pagi itu berpisah degannya, aku takkan bisa lagi berkabar, atau setidaknya menyapanya lewat media sosial. Ternyata Dia tidak demikian, Dia masih saja mengirimku kabar tentangnya. Bahkan rencananya ia akan menambah liburan di Jogja, namun aku tidak siap menemaninya, sebab kedatangannya pun ke Jogja secara tiba-tiba. Tidak terencana di dalam kalenderku, sehingga jamuanku padanya tak bisa 24 jam. Belum lagi kegiatanku di Jogja bersama saudaraku, membuat aku tidak punya banyak waktu.
               Dia mengambil keputusan untuk kembali ke kotanya pukul tujuh malam. Saat itu, aku temani dia menunggui kereta yang masih dua jam lagi datang. Di dalam stasiun, lagi-lagi ia bercerita banyak. Ada saja bahan ceritanya, dan aku lagi-lagi menjadi pendengar yang baik untuknya. Aku memang lebih suka mendengarkan manusia lain bercerita dibandingkan aku yang harus bercerita. Ceritaku kata kebanyakan pendengar tak asik untuk diceritakan lewat suara, aku lebih lihai bercerita lewat kata. Maka jadilah aku perempuan si pendengar cerita banyak orang.
                Berkali-kali aku perhatikan jam digital stasiun, setiap detiknya menjadi cepat membawanya akan pulang. Dia masih saja asik bercerita tentang hidupnya, seakan kepergiannya biasa saja, sedang aku merasa gundah sendiri dalam hati sembari masih menampakkan senyumku. Hatiku sudah gelisah saat jam digital itu menunjukkan pukul tujuh. Akhirnya aku menyuruhnya masuk ke dalam ruang tunggu kereta agar ia tak tertinggal kereta. Hatiku makin gelisah membawa ketenangan pergi. Kutatap tubuhnya sebelum ia benar-benar hilang. Banyak kata yang sempat tak terucapkan, lebih tepatnya takut aku ucapkan. Semua bergejolak dalam ruang hati, tentang aku takut tak bisa melihatnya lagi, juga tentang bagaimana selanjutnya setelah ia kembali. Ah, kubuang jauh kekhawatiran itu, dan kuberikan senyum terlebar saat ia berdiri dan berpamit. Pesannya kuingat, katanya “jangan sedih,” dan aku tersenyum lebar lagi. Dan ia berjalan mendekati pintu masuk. Kuantar dengan tubuhku yang berdiri.
               Kulihat ia berjalan menjauh. Sesak hati tak bisa ku tahan, secepat kilat kuambil masker, dan mataku banjir dengan airmata untuk alasan yang aku sendiri tidak memahami hingga tulisan ini kubuat. Yang aku tau, aku tergelincir oleh rasa sedih. Harus mengikhlaskan seseorang yang kurasa nyaman pergi ke kota yang aku tak tahu bagaimana ia di sana. Kubiarkan diriku sesak sesaat dalam tangis di dalam stasiun, sembari mengenang beberapa menit lalu ada seseorang duduk di sampingku, dan kini kursi itu kosong, hanya bekas bayangannya saja yang tertinggal.
             Tangisku harus aku bunuh. Aku berjalan meninggalkan stasiun ini dan aku kembali dengan senyum lebarku di sepanjang jalan. Tak boleh ada jejak airmata sebab setelah ini kehidupan lain memintaku untuk tersenyum kembali.
“Mari hati, rayakan perjalanan dengannya sejenak itu dengan sebuah senyuman hangat.”



         

No comments:

Post a Comment