Saturday 18 February 2017

Menjadi yang Kedua, Haruskah melepaskan?

Image result for kereta cepat malam
                                                 ( Foto From google : Ngindonesia) 


   Jika sebuah kereta tidak berhenti di stasiunmu, maka itu bukan keretamu   - MW.
   Jika ia tidak menjadikanku sebuah rumah tempat yang nyaman kembali, maka ia bukanlah yang      patut aku perjuangkan   -PT.



Aku pernah merasakan malam terpanjang dan terberat di dalam hidupku. Malam terberat itu adalah saat menunggu fajar di mana tubuhku mengalami kesakitan luarbiasa dan tidak ada dokter yang buka malam itu, rasanya aku ingin mati saja saat itu. Itu malam terberat dan terpanjangku, saat aku hidup di desa dengan keterbatasan rumah sakit. Saat itu aku berjuang melawan sakit tubuh. Beruntunglah Tuhan segera menidurkanku, dan dibangunkannya aku di kamar rumah sakit. Entah siapa yang membawaku, namun rasa sakitku sudah mereda.

Dan malam ini, adalah malam terberat dan terpanjangku juga. Ingin sekali aku skip malam itu. Malam itu? ada apa? Baiklah, aku akan merunut kejadiannya. Sebelum malam itu, aku ditugaskan untuk pelatihan di Wonosobo selama tiga hari. Pekerjaan yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Dan sore itu, sampailah aku di Yogyakarta, pulang dari Wonosobo. Namun, dipertengahan jalan, aku mendapat pesanmu yang membuat pikiranku makin kelelahan, katamu "Jangan hubungi aku dahulu selama beberapa waktu ini," Ingin saat itu juga airmataku meleleh, namun aku malu sebab aku tengah bersama team kerjaku. Akhirnya aku memutuskan untuk melupakan dengan cara tertidur sepanjang perjalanan.

Tetap saja, hatiku remuk, sebab aku tahu maksud di balik pesanmu itu. Pesanmu itu menandakan bahwa tunanganmu sedang berkunjung ke rumahmu. Ya, sebelum mengenalku kamu telah memiliki kekasih, yang bahkan hingga kini masih ada di dalam hatimu. Aku tahu itu, rasaku yang berkata demikian. Walau kamu berkata bahwa engkau telah hilang peduli dengannya, namun tetap saja aku adalah pilihan keduamu setelah perempuan riang itu.

aku bawa luka ini hingga ke Yogya, dan sesampainya di Yogya tubuhku tak mau rehat, terlalu berat luka yang bersarang itu, dan aku memutuskan untuk pergi renang seorang diri. Aku hancurkan laraku dengan renang tak kenal waktu hingga malam. Hingga kakiku rasanya kram tak bisa berkutik di dalam air. Dan mengharuskanku pulang menidurkan lelah. Di pertengahan jalan, hampir saja tanganku tak terkendali, namun sebisa mungkin aku kuat. Mataku sudah mengantuk sekali membawa lelah tubuh dan lelah hati.

Di kos yang sempit, aku membuka kembali pesan itu, tiada yang baru, hanya kata-katamu tadi siang. Hati ini semakin lelah membawa lara, aku ingin tidur kembali setelah tenagaku habis di kolam renang. Aku terlelap, namun bangun berkali-kali. Layar ponselku masih saja kosong. Ah aku membayangkan betapa engkau dan dia sedang ceria tertawa, sedang aku adalah simpananmu yang kesepian yang mengutuki malam. 

Aku tidur, dan terbangun berkali-kali. Berat sekali tidurku, ada beban luka di sana yang coba aku usir, namun gagal berkali-kali. Aku coba sujudkan kepalaku di malam yang panjang dan berat ini. Jam dinding masih menggantung di angka dua lebih tiga menit. Lama nian aku rasa mentari terbit. Aku sudah lelah sekali dan ingin berlari, tapi ke mana. Sedini ini, ke mana? selain ke sajadah panjang yang tergeletak bekas sembahyang Isya tadi.
Kuletakkan kepalaku di dalam sujud, sembari berharap Tuhan mengambil beban-bebanku yang berat, dan cepat menggelincirkan gelap, tergantikan dengan senyum mentari.

Sesak sekali rasanya menatap realitas bahwa aku hanya pelarian semata. Jika sedari awal Ia mengatakan sejujurnya, barangkali luka ini takkan sedalam ini. Namun, aku tahu setelah rasa itu hadir. Jangan tanya mengapa, Tuhan yang mengizinkan demikian, aku menemu dia kala di Yogya, dan kini aku melepas dia bersama dia (tunangannya) di sana. Barangkali tangisku kala di stasiun menjadi pertanda bahwa memang aku harus rela, atau bahkan melepaskan kembali dalam pelukan perempuan riang itu. Aku hanyalah sebuah stasiun, yang ia singgahi untuk pergi atau kembali pulang. Aku bukan rumah yang akan ia tinggali, aku hanya tempat singgah. Jangan kasihani aku Tuhan, tapi akhiri keadaan membingungkan ini. Sudah berkali-kali engkau buat aku demikian. Yang dahuu-dahulu pun demikian.

Aku ingin berhenti jadi orang baik, namun Tuhan tak melepaskanku menjadi orang jahat. Tuhan memberiku hati yang demikian. Layaknya stassiun. Menjadi jembatan bagi manusia-manusia yang ingin ke mana saja. Tapi sudah Tuhan, aku juga ingin menjadi kereta yang bisa ke mana saja. Belum cukupkah Tuhan cobamu selama ini membuatku lebih tua dibandingkan seusiaku? Aku terlalu dewasa kata kebanyakan orang. Dan bolehkah aku seperti anak kecil yang amsa bodo degan kehidupan? Engkau, Tuhan selalu membelokkan kakiku untuk hal baik.

Ingin dalam sujudku berbanjir airmata, namun airmataku sudah kering. Tiada yang menetes satu pun. Sakit ini bukan lagi sakit yang biasa hingga airmata pun ikut pergi tak ingin menetes. 
Haruskah aku melupakan dan melepaskan ia? jika demikian, aku akan semakin jauh dari kata menjadi kereta, dan lagi-lagi aku hanya menjadi stasiun.

No comments:

Post a Comment