Tuesday 7 March 2017

Wawancara Imaginer dengan Tuhan.


Image result for art of think
Foto : Anonymus Art : google

Akan sampai pada yang olah hati akan "mati daya"
Akan sampai pada yang olah pikir akan "lelah pasrah"
Akan sampai pada yang olah rasa akan "mati rasa"
dan usai....


Pagiku berat. De javu, kataku, sebab keadaan ini sudah pernah menguasaiku sangat lama. Aku sudah menolak untuk sampai pada masa ini lagi, namun Tuhan ternyata belum jengah mengujiku, ia ingin aku menjadi sosok melebihi malaikat. Sebab malaikat tak kenal lara dan patah, hanya tahu patuh. Bukankah Tuhan sendiri yang berbicara lewat ayatnya, bahwa manusia bisa menjadi lebih baik dari malaikatnya? Tapi aku tak menginginkan untuk menjadi wanita yang lebih lagi, sudah cukup aku begini saja. Tak perlu sabarku seluas dinding hati, tak perlu aku merasakan ikhlas yang dalam lagi, aku ingin menjadi wanita yang biasa saja. Sama dengan kebanyakan wanita lainnya. Tapi Tuhan selalu berbicara berbeda saat denganku Caranya menyampaikan makna pun demikian melelahkanku, kadang aku ingin sudah saja.

Tuhan sedang asik menganiaya hidupku sebelum ia memberiku hadiah.

Sudah tiba masaku untuk tidak berharap melebihi garis finishku. Sudah tiba saat aku menerima untuk kembali ke desa, bersama kehidupan pagiku yang sunyi dan dedaunan sawit yang melambai pelan. Sudah tiba bagi diriku untuk menerima kembali pulang, sebab sekali lagi kehidupan kota membuatku patah dan hilang arah. Sudah tiba masanya untuk aku tidak meminta apa-apa lagi pada Tuhan selain aku memasrahkan kehidupanku seluruhnya pada-NYA.

Takkan ku sebut lagi nama itu di dalam doa. Takkan aku minta lagi nama itu untuk tetap bersamaku. Sebab ia pun memasrahkan kehidupannya untuk tidak bersamaku. Maka apa lagi dayaku yang berjuang dengan sebelah doa? Aku akan kuat jika doaku dan dia bersama meminta pada Tuhan, tapi tidak, hanya doaku yang mendobrak sebelah sisi. Aku takkan mampu menembus dinding pertahanan Tuhan. Segalanya sekarang terserah Tuhan. Tuhan tahu maunya. Dan daya-NYA melebihi segala daya yang ada di bumi.

Titik Terlemah.
Aku sudah sampai pada masa luka tak bisa diterjemahkan dengan kata. Aku sudah sampai pada titik di mana aku tidak mengerti apa itu kasih sayang. Aku sudah sampai pada lembah di mana aku belum menemukan jalan pulang. Yang aku pahami, aku sedang dalam dunia yang menuntutku bertahan hidup.

Sudah kutemui jawabannya. Jika engkau adalah kereta api, maka engkau hanyalah kumpulan gerbong yang tak berdaya. Engkau hanya kumpulan  besi-besi, di balikmu ada seorang masinis yang mengemudikanmu. Sekali pun engkau ingin mendiami stasiunku, tapi masinis berkata aku bukan tujuanmu, dan kereta itu (engkau) bergerak, berangkat lagi menuju stasiun tujuanmu. Dan itu bukan aku. - Barangkali.

Pagi ini tanpa kopi, tanpa makanan. Sedang tidak berselera dengan segala hal, kecuali buku. Aku akan berpetualang di dalamnya. Aku bebas menjadi tokoh seperti apa.


No comments:

Post a Comment