Friday 17 March 2017

Persoalan Perempuan, Bisakah Mendobrak Kebudayaan?

Kebudayaan adalah hasil karya dari budi dan akal, begitu kurang lebih menurut Ki Hajar Dewantara, yang teman-teman bisa baca sendiri di bukunya berjudul "Kebudayaan".

Ya, kebudayaan adalah ahsil cipta dari pemikiran sekelompok orang di suatu tempat. Dan suatu kebiasaan bisa menjadi budaya, salah satunya menikah dini di desaku, sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Menikahkan anak perempuan, terutamanya. Jika anak lelaki akan dibiarkan saja, maka tidak dengan anak perempuannya. Akan menjadi momok tersendiri untuk keluarganya. Pertanyaannya, mengapa perempuan? mengapa lelaki bebas? toh setelah menikah tanggung jawab masing-masing adalah sama.

............
Image result for quotes queen elizabeth  about women
(bussiness quotes for woman)


Malam itu hujan, belum reda hingga telepon mungilku berbunyi. Tertera di layar, panggilan dari ibuku, dan aku angkat dengan semangat. Telepati anak dan ibu begitu kuat, padahal baru beberapa waktu tadi aku baru saja membatin betapa merindukan ibuku, dan kemudian kini masuklah panggilan darinya.
Aku menjawab, dan kami asik berbincang apa saja, terutama kabar sehat, sebab sudah satu tahun aku tidak kembali ke kampung, lebih tepatnya aku berpikir dua kali untuk kembali. Aku sudah hidup di kota cukup lama, 8 tahun, dan keluargaku masih saja di desa yang sulit dituju.

Hingga akhirnya telepon itu tidak sebahagia tadi sebab ibuku di akhir telepon selalu menanyakan sudahkah aku menemukan seseorang? kata ibuku carilah yang biasa saja, tak perlu ini dan itu. Yang mau mau saja. Oh Tuhan, sebegitukah ibuku memandang seorang lelaki yang akan mendampingi anaknya kelak? aku keras menolak tidak mau dengan sembarang orang, sebab hidupku puluhan tahun ke depan akan dengan jodohku, aku tidak mau salah memilih.

Ibuku masih terjebak dengan kehidupan status. Status anak belum menikah dan status anak menikah. Sedang bagiku tidak penting suatu pernikahan jika itu hanya untuk status. Bagiku, aku ingin menikah dengan mengalir. Aku saling membutuhkan untuk menikah, bukan hanya melepas status perawan atau lajang.

Sulit sekali memberikan pemahaman kepada kehidupan di sekeliling ibuku bahwa menikah bukan sekadar persoalan status. Lebih dari itu. Ya sulit memberikan pemahaman kepada ibuku. Banyak buku yang aku baca, dan banyak lembar yang aku ketik, tetapi untuk meyakinkan dan memahamkan ibuku sendiri sulit sekali sebab ia hidup di lingkungan yang membudayakan menikah dini adalah yang terbaik, terlepas dari akan seperti apa hasil pernikahan tersebut. Padahal di desaku sudah banyak kegagalan membangun rumah tangga sebab menikah terlalu dini. Tapi Ibuku tak pernah mau tau sebab banyak juga yang bahagia dan aman.

Aku dilema, sedang aku pun dalam posisi menjadi orang kegika dalam hubungan orang lain di mana lelaki itu aku harapkan akan hidup bersamaku. Aku belum bisa melepaskannya sebab dialah yang aku temukan pas di dalam diriku. Hingga hari ini, dialah yang paling aku inginkan, namun juga dialah yang paling aku persiapkan ruang untuk terluka jika sewaktu-waktu ia mengatakan bukan memilih aku, namun memilih yang lain.

Kehadiran dialah yang aku tunggu, namun kehadiran dia dengan perempuannya yang tidak aku inginkan. Satu sisi aku ingin pergi, namun satu sisi aku menemukan aku jika bersama dirinya. Bisakah Tuhan segera menjawab kebimbanganku?

Kembali kepada persoalan kebudayaan. Mengapa perempuan yang dikorbankan? bukan lelaki yang juga dipaksa menikah cepat juga? Apakah masih berlaku zaman gelap itu? Zaman di mana perempuan menikah dengan tanpa 3 ibu, ibu asuh, asah dan asih?

Dahulu perempuan menikah cukup dengan asuh dan asih, tapi kehidupan sekarang membutuhkan perempuan untuk bisah asah (baca:mendidik) juga. Asuh (baca:mengasuh) kan memang dimiliki manusia secara lahiriah, begitu juga asi, pasti ada. Namun mendidik zaman kini juga dibutuhkan. Perempuan juga berhak untuk mendapatkan haknya berpendidikan, tidak hanya lelaki saja. Kehidupan sudah maju Bu,

"Ah, susah menjelaskan kepada Ibuku," Lebih susah memahami Ibuku dibanding memahami filsafat yang njelimet. Lebih susah menjelaskan kepada ibuku bahwa zaman a,b dan c.

Lalala saja.

Tamat.

No comments:

Post a Comment