Bila kau muda yang telah belajar di
sekolah dan menganggap dirinya pintar dan tinggi untuk melebur dengan
masyarakat yang bekerja hanya dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita
sederhana maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. (Tan
Malaka)
Lagi dan lagi membahas
pendidikan yang terjadi masa kini. Masa di mana segala sesuatu seakan berjalan
sendiri dan terlalu cepat. Manusia menamakan globalisasi. Pendidikan di masa
globalisasi yang tidak bisa dimengerti. Bukan semata kurikulum yang terus
berganti jika Menterinya berganti, bukan juga soal pendidikan yang sulit
menyentuh kaum menengah dan bawah, namun soal pendidikan yang tidak dapat
dimengerti lagi apa tujuannya.
Tujuan utama pendidikan
yaitu bagaimana mengenalkan manusia pada
lingkungan dan realitas yang ada. Seperti kata Paulo Freire dalam bukunya
Politik pendidikan. Pendidikan harus mampu menghasilkan output yang dapat
membaur dengan masyarakat sebagai bentuk kepekaan sosial. Bukan justru merasa asing
setelah keluar dari ruang kotak-kotak bernama kelas. kelas yang seharusnya
tidak membatasi dengan dunia luar, namun pada realitasnya justru menjadi tempat
mengisolir perilaku sosial.
Di sini, penulis lebih
menyoroti dunia mahasiswa. Di dunia yang katanya maha dari segala siswa, justru
menjadi sebuah pertanyaan, pentingkah adanya mahasiswa sekarang? Mengingat
mahasiswa yang dihasilkan pendidikan justru jauh dari yang diinginkan
masyarakat dan tatanan kehidupan. Di dalam kelas, kini mahasiswa didongengkan
puluhan teori yang kadang tidak dapat dimengerti bahkan justru membuat
mengantuk.
Penulis pernah
melakukan beberapa pengamatan selama beberapa hari dengan kelas-kelas yang
berbeda tentang situasi di dalam kelas. hasil yang sangat mencengangkan bahwa
dapat dikatakan hampir seluruh mahasiswa di dalam kelas lebih suka bermain
ponselnya dibandingkan mendengarkan Dosen berbicara di dalam kelas. ketika
beberapanya diwawancarai, mereka mengatakan "Lebih baik main ponsel, bukan
berarti kami tidak menghargai dosen, melainkan cara dosen mentransfer ilmu pada
kami menjenuhkan. Teori-teori yang selalu dikatakan itu dan itu saja.
Pelampiasan bosan di dalam kelas kami tujukan apda ponsel. Kadang juga dosen
diam melihat kami mainan ponsel, jadi ya kami asik-asik saja. Dosen senang
menjelaskan, dan kami sedang dengan sunia kami."
Bukan bermaksud
menyalahkan satu pihak, namun memang begitu kurikulum yang ada pada masa kini.
Kurikulum dengan ketat dijalankan dan harus diselesaikan tepat pada waktunya.
Mau tidak mau dosen pun seperti dikejar Tuhan dan begitu patuh terhadap aturan.
Aturan yang membuat dosen menjelaskan dengan cepat dan tanpa berfikir hal lain
selain materi disampaikan selesai tepat pada waktunya.
Peran
Kurikulum.
Siapa bilang kurikulum
yang telah sistematis akan mampu membawa output pendidikan pada ranah yang
berkualitas. Banyak penelitian telah dilakukan, salah satunya penulis merangkum
penelitian dari Emil Bachtiar,dkk (2015) tentang peran kurikulum terhadap tindakan tidak
beretika. Menurut Emile, dkk bahwa kurikulum tidak hanya sekedar apa yang
tertera pada kertas, namun yang paling penting adalah bagaimana cara
mentransfer kurikulum pada maha(siswa) agar apa yang ada pada kurikulum
benar-benar sampai pada hati maha(siswa) dan membentuk good karakter. Yang paling penting lagi adalah peran guru, dosen, dan tenaga pengajar yang
menajdi jembatan serta kunci keberasilan kurikulum yang ada.
Entah apa dasarnya
mahasiswa diarahkan pada kurikulum berbasis kompetensi yang dinilai justru
sangat membuat mahasiswa terbebani. KBK pada bangku perkuliahan membuat
mahasiswa tidak bisa berkutik dan berjibaku dengan sosial serta
kegiatan-kegiatan aktif lainnya. Dengan KBK dapat dikatakan bahwa mahasiswa
dipenjara dalam kotak jurusan dan dimatikan haknya untuk bebas menelusuri
bakatnya.
Sistem yang membuat
mahasiswa menjadi kurir tugas dan segala kerjaan di atas kertas menjadikan
mahasiswa buta terhadap permasalahan yang ada. Pernah penulis mendengar cerita
seorang dosen bahasa Indonesia yaitu Ahmad Sahide menceritakan tentang anak
akuntansi yang tidak tahu menahu soal inflasi Negara Indonesia, besaran APBN,
kebocoran APBN, dan beberapa kasus ekonomi lainnya, Ahmad Sahide menuturkan
alasan banyak mahasiswa menjawab demikian karena di bangku perkuliahan tidak
diajarkan secara mendetail. Beliau tercengang, hal-hal yang penting justru
kadang lupa tidak disinggung dan hanya berfokus pada teori saja. Hal ini sangat
menghawatirkan kita semua.
Kembali pada kurikulum
yang dibuat dengan sedemikian lama karena mempertimbangkan banyak hal, apakah
masih perlu kurikulum dengan sistim KBK di kampus terus dijalankan jika hanya
menghasilkan manusia-manusia penurut tanpa bisa menganalisis masalah? Jangan
sampai kurikulum dibuat hanya untuk menghasilkan mesin-mesin yang dibutuhkan
pabrik. Kurikulum seharusnya digagas untuk bagaimana dapat meniptakan output
yang memiliki gagasan dan karakter yang baik.
Pendidikan
itu Luka.
Kita tinggalkan
kurikulum dan segala system yang ada. Kini saatnya penulis mengajak kalian
untuk langsung pada masyarakat. Beberapa hari yang lalu, di senja yang belum
sempurna sembunyi di balik langit, penulis bersantai duduk di depan halaman
kampus. Dan di sana masih ramai dengan beberapa orangtua yang sejak pagi
menunggui anaknya untuk mendaftar menjadi seorang yang penulis ngeri
mendengarnya "mahasiswa."
Penulis berbincang
panjang tentang asal bapak tersebut yang sangat jauh dari pedalaman Jambi.
Setelah lama bercerita, sampailah penulis pada maksus menanyakan alasan apa
beliau mendaftarkan anaknya ke Jawa terutama Yogyakarta dan khususnya kampus
ini. kebetulan anaknya mengambil ekonomi. Beliau mengatakan pendidikan di
Yogyakarta terkenal bagus dna murah. Di luar Jawa rupanya terkenal kehidupan
Yogyakarta yang murah dan pendidikan yang berkualitas, penulis hanya
menggut-manggut padahal di kampus penulis terutama fakultas penulis, biaya
kuliahnya mencekik. Rakyat kecil takkan bisa mendaftar di sini. Terus bapak
tersebut bercerita dan terus bercerita hingga terbongkarlah beliau bisa sampai
di Yogya dengan menggadaikan sertifikat rumahnya.
Sudah, ceritanya
samapai di sini. Hal yang penting adalah masyarakat rela melakukan apapun agar
anaknya masuk kelas pendidikan yang lebih tinggi dan digadang menjadi seorang
sarjana yang membanggakan.
Aduh dan aduh. Hati
penulis rupanya terluka mengingat harapan bapak tersebut terlalu tinggi karena
rupa pendidikan negeri ini hampir berganti menajdi sosok yang justru
menakutkan. Selain hati penulis terluka, penulis tentu mengerti jerih pahit
bapak tersebut untuk sampai di Yogyakarta dengan menggadaikan sertifikat
rumahnya. Semoga, harapan bapak tersebut menjadi kenyataan. Dan pemikiran
penulis menjadi hilang ditelan kenyataan.
Putri Tami
Mahasiswa akuntansi UMY
No comments:
Post a Comment