Saturday, 27 June 2015

Pendidikan Kini Menghasilkan Luka




Bila kau muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya pintar dan tinggi untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja hanya dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. (Tan Malaka)
           
Lagi dan lagi membahas pendidikan yang terjadi masa kini. Masa di mana segala sesuatu seakan berjalan sendiri dan terlalu cepat. Manusia menamakan globalisasi. Pendidikan di masa globalisasi yang tidak bisa dimengerti. Bukan semata kurikulum yang terus berganti jika Menterinya berganti, bukan juga soal pendidikan yang sulit menyentuh kaum menengah dan bawah, namun soal pendidikan yang tidak dapat dimengerti lagi apa tujuannya.
Tujuan utama pendidikan yaitu bagaimana mengenalkan manusia  pada lingkungan dan realitas yang ada. Seperti kata Paulo Freire dalam bukunya Politik pendidikan. Pendidikan harus mampu menghasilkan output yang dapat membaur dengan masyarakat sebagai bentuk kepekaan sosial. Bukan justru merasa asing setelah keluar dari ruang kotak-kotak bernama kelas. kelas yang seharusnya tidak membatasi dengan dunia luar, namun pada realitasnya justru menjadi tempat mengisolir perilaku sosial.
Di sini, penulis lebih menyoroti dunia mahasiswa. Di dunia yang katanya maha dari segala siswa, justru menjadi sebuah pertanyaan, pentingkah adanya mahasiswa sekarang? Mengingat mahasiswa yang dihasilkan pendidikan justru jauh dari yang diinginkan masyarakat dan tatanan kehidupan. Di dalam kelas, kini mahasiswa didongengkan puluhan teori yang kadang tidak dapat dimengerti bahkan justru membuat mengantuk.
Penulis pernah melakukan beberapa pengamatan selama beberapa hari dengan kelas-kelas yang berbeda tentang situasi di dalam kelas. hasil yang sangat mencengangkan bahwa dapat dikatakan hampir seluruh mahasiswa di dalam kelas lebih suka bermain ponselnya dibandingkan mendengarkan Dosen berbicara di dalam kelas. ketika beberapanya diwawancarai, mereka mengatakan "Lebih baik main ponsel, bukan berarti kami tidak menghargai dosen, melainkan cara dosen mentransfer ilmu pada kami menjenuhkan. Teori-teori yang selalu dikatakan itu dan itu saja. Pelampiasan bosan di dalam kelas kami tujukan apda ponsel. Kadang juga dosen diam melihat kami mainan ponsel, jadi ya kami asik-asik saja. Dosen senang menjelaskan, dan kami sedang dengan sunia kami."
Bukan bermaksud menyalahkan satu pihak, namun memang begitu kurikulum yang ada pada masa kini. Kurikulum dengan ketat dijalankan dan harus diselesaikan tepat pada waktunya. Mau tidak mau dosen pun seperti dikejar Tuhan dan begitu patuh terhadap aturan. Aturan yang membuat dosen menjelaskan dengan cepat dan tanpa berfikir hal lain selain materi disampaikan selesai tepat pada waktunya.

Peran Kurikulum.
Siapa bilang kurikulum yang telah sistematis akan mampu membawa output pendidikan pada ranah yang berkualitas. Banyak penelitian telah dilakukan, salah satunya penulis merangkum penelitian dari Emil Bachtiar,dkk (2015) tentang  peran kurikulum terhadap tindakan tidak beretika. Menurut Emile, dkk bahwa kurikulum tidak hanya sekedar apa yang tertera pada kertas, namun yang paling penting adalah bagaimana cara mentransfer kurikulum pada maha(siswa) agar apa yang ada pada kurikulum benar-benar sampai pada hati maha(siswa) dan membentuk good karakter. Yang paling penting lagi adalah  peran guru, dosen, dan tenaga pengajar yang menajdi jembatan serta kunci keberasilan kurikulum yang ada.
Entah apa dasarnya mahasiswa diarahkan pada kurikulum berbasis kompetensi yang dinilai justru sangat membuat mahasiswa terbebani. KBK pada bangku perkuliahan membuat mahasiswa tidak bisa berkutik dan berjibaku dengan sosial serta kegiatan-kegiatan aktif lainnya. Dengan KBK dapat dikatakan bahwa mahasiswa dipenjara dalam kotak jurusan dan dimatikan haknya untuk bebas menelusuri bakatnya.
Sistem yang membuat mahasiswa menjadi kurir tugas dan segala kerjaan di atas kertas menjadikan mahasiswa buta terhadap permasalahan yang ada. Pernah penulis mendengar cerita seorang dosen bahasa Indonesia yaitu Ahmad Sahide menceritakan tentang anak akuntansi yang tidak tahu menahu soal inflasi Negara Indonesia, besaran APBN, kebocoran APBN, dan beberapa kasus ekonomi lainnya, Ahmad Sahide menuturkan alasan banyak mahasiswa menjawab demikian karena di bangku perkuliahan tidak diajarkan secara mendetail. Beliau tercengang, hal-hal yang penting justru kadang lupa tidak disinggung dan hanya berfokus pada teori saja. Hal ini sangat menghawatirkan kita semua.
Kembali pada kurikulum yang dibuat dengan sedemikian lama karena mempertimbangkan banyak hal, apakah masih perlu kurikulum dengan sistim KBK di kampus terus dijalankan jika hanya menghasilkan manusia-manusia penurut tanpa bisa menganalisis masalah? Jangan sampai kurikulum dibuat hanya untuk menghasilkan mesin-mesin yang dibutuhkan pabrik. Kurikulum seharusnya digagas untuk bagaimana dapat meniptakan output yang memiliki gagasan dan karakter yang baik.

Pendidikan itu Luka.
Kita tinggalkan kurikulum dan segala system yang ada. Kini saatnya penulis mengajak kalian untuk langsung pada masyarakat. Beberapa hari yang lalu, di senja yang belum sempurna sembunyi di balik langit, penulis bersantai duduk di depan halaman kampus. Dan di sana masih ramai dengan beberapa orangtua yang sejak pagi menunggui anaknya untuk mendaftar menjadi seorang yang penulis ngeri mendengarnya "mahasiswa."
Penulis berbincang panjang tentang asal bapak tersebut yang sangat jauh dari pedalaman Jambi. Setelah lama bercerita, sampailah penulis pada maksus menanyakan alasan apa beliau mendaftarkan anaknya ke Jawa terutama Yogyakarta dan khususnya kampus ini. kebetulan anaknya mengambil ekonomi. Beliau mengatakan pendidikan di Yogyakarta terkenal bagus dna murah. Di luar Jawa rupanya terkenal kehidupan Yogyakarta yang murah dan pendidikan yang berkualitas, penulis hanya menggut-manggut padahal di kampus penulis terutama fakultas penulis, biaya kuliahnya mencekik. Rakyat kecil takkan bisa mendaftar di sini. Terus bapak tersebut bercerita dan terus bercerita hingga terbongkarlah beliau bisa sampai di Yogya dengan menggadaikan sertifikat rumahnya.
Sudah, ceritanya samapai di sini. Hal yang penting adalah masyarakat rela melakukan apapun agar anaknya masuk kelas pendidikan yang lebih tinggi dan digadang menjadi seorang sarjana yang membanggakan.
Aduh dan aduh. Hati penulis rupanya terluka mengingat harapan bapak tersebut terlalu tinggi karena rupa pendidikan negeri ini hampir berganti menajdi sosok yang justru menakutkan. Selain hati penulis terluka, penulis tentu mengerti jerih pahit bapak tersebut untuk sampai di Yogyakarta dengan menggadaikan sertifikat rumahnya. Semoga, harapan bapak tersebut menjadi kenyataan. Dan pemikiran penulis menjadi hilang ditelan kenyataan.

Putri Tami
Mahasiswa akuntansi UMY

No comments:

Post a Comment