Friday, 13 May 2016

Koperasi di Desaku yang Berjuang Bangkit.

Hari itu hari kepulanganku untuk menilik kampung yang jauh di sana. Jauh dari kata kampung, lebih lebih dari sekadar kampung, melainkan pelosok kampung. Kaki ini turun di bandara SSQ internasional di Pekanbaru. Bandara yang sudah aku injak tiga kali, dan kemungkinan empat kali jika esok aku kembali ke Yogyakarta.

            Alasanku pulang tidak hanya sekadar pulang. Pertama tentu aku rindu dengan kedua orangtua dan abangku yang kian hari aku sadar aku mencintai dan membutuhkan mereka. Kedua, aku pulang sebab aku ingin menilik kampungku. Apakah masih banyak permasalahan yang ada, dan ternyata iya banyak sekali masalah yang aku temui. Dari masalah pendidikan yang kian hari tidak berubah, dan berjalan di tempat. Pun masalah ekonomi yang sekarang begitu rumit. Sawit tak ada kuncup dan sangat jarang berbuah. Akibat dari buah sawit yang jarang dan juga perekonomian yang buruk, banyak sekali usaha yang merugi atau masyarakat yang gulung tikar tak mampu membayar cicilan bank.

Kata seorang yang paham soal ekonomi dan pertanian, ini bukan semata-mata akibat perekonomian yang anjlok , tapi juga karena asap yang terjadi lama di Riau selama beberapa bulan kemarin. Hasil asap tersebut menghambat tumbuh kembang penyerbukan, dan alhasil sekarang pohon sawit jarang yang berbuah akibat telat penyerbukan. Di tambah lagi kemarau yang berkepanangan. Jadi semua dampak terjadi saat ini, pun perekonomian memang sedang lemah sekali saat ini. begitulah ceritanya mengapa banyak orang gulung tikar dan kredit macet. Tidak ada buah sawit yang dipanen, jika adapun harganya sungguh memilukan. Dengan demikian, lagi dan lagi sawit bukan maha raja yang tidak bisa rugi. Semua ada masa jatuhnya.

            Dan alasan terakhir aku pulang karena aku ingin  magang di sebuah Koperasi Unit Desa. Koperasi itu berjalan dengan baik dan terus tumbuh, sehingga aku ingin belajar saja mengapa bisa hidup demikian. Aku bisa saja magang di perusahaan besar dan terkenal, tapi untuk apa aku magang di perusahaan besar jika aku tidak diajarkan banyak hal. Di sini, di KUD ini, mulai tanggal 28 maret 2016 aku magang dan diajarkan beberapa hal. Terutama soal perhitungan yang matang untuk tidak merugi banyak. Pak Muliendri sebagai kepala kopersi sungguh berdisiplin untuk urusan rugi tidaknya.

28 maret 2016

Hari pertama magangku banyak sekali keresahanku. Pertama, pagi-pagi sekali pukul delapan aku datang ke kantornya. Masih sepi. Kata Pak Muliendri, biasanya karyawan datang jam Sembilan. Ya beginilah kehidupan kantor di desa, kadang para ibu-ibu sibuk mengurusi anaknya sehingga telat untuk datang ke kantor.  Tingkat kesadaran akan disiplin masih di bawah rata-rata. Ini menjadi salah satu penghambat kemajuan suatu daerah. Disiplin wajib ada sekalipun hanya seorang siswa kampung.

Hari yang menurutku luar biasa, walau baru sehari namun Bapak Muliendri memberiku banyak kesempatan belajar. Bukan belajar skill, namun belajar soal pemikiran. Beliau bercerita bagaimana seharusnya berpikir panjang, bukan berpikir setahun ke depan, namun dua puluh lima tahun mendatang mau diapakan koperasi ini. Dan ada beberapa perencanaan yang di buat oleh beliau, salah satunya membangun minimarket sendiri. Ya supermarket yang sederhana saja, namun segala modalnya dari koperasi. Sekarang memang ada minimarket “Halo” namanya, namun milik orang Cina. Mereka bekerjasama pada bagi hasil. KUD mendapatkan 20% dari hasil penjualan. Tidak ada sistem kontrak karena memahami kondisi desa yang masih sepi. Masyarakat masih terbiasa berbelanja di pasar atau toko kelontong, bukan di minimarket seperti itu, jadi Koperasi tidak menarget kontrak bangunan, hanya bagi hasil saja. Dan ini menurutku suatu kemajuan, lebih maju lagi jika nanti yang memiliki bukan lagi orang Cina, melainkan penduduk lokal. Aku berharap di masa depan anak-anak Kerumutan yang memiliki tanah Kerumutan, bukan lagi orang asing yang tidak di kenal. Salah satu harapanku adalah anak-anak sekolah inilah yang nantinya akan meneruskan perjuangan nenek moyang dahulu dalam mempertahankan tanah. Sudah cukup sekiranya anak-anak kerumutan selalu di pimpin orang asing.

Di koperasi ada tujuh pegawai, namun hari ini aku hanya bertemu dengan Bu El, Bu Sri, Bapak Tri asa, Bang Wahid, dan Pak Muliendri, ada dua lagi namun tidak datang. Ada Mas Sus dan pekerja lapangan satu, namun tidak hadir entah mengapa. Untung aku sudah siap mental sehingga pertama magang aku seperti seonggok kertas yang sudah kumel tak dilirik sekali pun. Biarlah. Yang penting Pak Mulindri banyak bercerita denganku tentang analisis ekonomi.

Pukul 12.30 aku pulang. Ya memang kerjanya hanya setengah hari. dan setelah itu aku mengunjungi SMP-ku dahulu. Tidak ada yang berubah setalah hampir ke sekolahku dahulu. Tujuh tahun aku meninggalkan daerah ini, namun tiada yang berubah, begini saja tanpa ada kemajuan. Bertambah pun hanya ada dua gedung baru untuk perpustakaan dan untuk kantor para guru. Selain itu semua sama saja. Sepanjang aku berjalan mengitari koridor sekolah itu, aku berfikir andaikan aku bisa banyak membantu. Apa pun itu akan aku bantu.


14 April 2016

Ada banyak hal yang sudah beberapa hari ini terlewati tanpa aku menulisnya sebagai catatan. Bukan tidak ingin menulis, namun hawa kampungku membuatku bisu dan lesu tiada bersemangat, barangkali memang disiplinku untuk menulis belum kuat. Di kampungku tidak banyak yang aku lakukan beberapa hari ini. hanya melakukan itu dan itu saja. Sebenarnya banyak yang ingin aku buat, namun terhalang oleh kegiatan magangku di koperasi, dan juga aku sebagai wanita yang sulit sekali bebas hidup di kampung. Boleh pergi pun, tiada kawanku. Segala kawan yang aku punya dahulu sudah pergi merantau atau bahkan telah menikah dan memiliki anak, sehingga aku tidak memiliki kawan di kampungku ini.

            Setiap hari hanya bangun pagi, lalu membantu orangtuaku memasak. Begitulah rutinitas perempuan di banyak tempat, tidak hanya di kampungku. Memasak bukan hal baru bagiku walau aku lama merantau, sudah sejak kecil aku terbiasa memasak apa saja. Guru terbaikku adalah ibuku, juga sebagai malaikatku di dunia ini. selesai masak masih ada jeda satu jam sebelum aku berangkat magang, kadang aku gunakan untuk duduk merenung atau membuat kopi sembari sedikit membaca buku. Merenung tentang aku akan hidup di mana, memiliki rumah tangga seperti apa, dan memiliki masa depan yang bagaimana. Aku harus memutus tali kesulitan keluargaku, aku tidak ingin hidup miskin lagi, tapi juga tidak ingin terlalu berambisi.

            Tepat pukul delapan di mana matahari di kampung sudah di bahu langit, aku melangkah menuju tempat magangku yang tidak jauh. Tempat magang yang cukup sederhana, bahkan sangat sederhana. Pintu-pintunya bercat putih sudah kusam. Ukurannya kecil, hanya seukuran rumah dengan dua kamar, bahkan lebih kecil lagi. Tapi di dalam ruang mungil inilah segala kegiatan besar untuk desa terjadi. Contohnya urusan penumbangan sawit yang akan segera terjadi. Koperasi inilah sebagai penggerak utamanya. Semua anggotanya sibuk ke sana dan ke sini mengurusi urusan peremajaan sawit tersebut.

            Barangkali benar bahwa apa-apa yang besar biasanya lahir dari yang biasa dan sederhana namun mau bekerja keras. Dengan hanya tujuh karyawan koperasi dan ruangan yang cukup sempit ini lahirnya banyak pemikiran besar di dalamnya. Terutama pemikiran kepala koperasi ini, beliau tegas namun bijak. Tegas untuk urusan yang memang harus tegas, namun bijak sekali dalam menangani segala masalah yang ada. Pandangannya tidak hanya berpikir untuk dua atau tiga tahun mendatang, melainkan jauh berpuluh tahun mendatang akan bagaimana kelanjutan koperasi ini. tidak boleh mati sebab sudah susah payah di bangun dengan letih dan juga segala daya upayanya.

Writer : Putri Tami 

2 comments:

  1. Terus berkarya kawan..
    Tulisan2 mu akan di baca dan didengar dunia...
    Suatu hari nanti...
    Tak kan ada yang sia2...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, masih dalam proses belajar Jis.

      Delete