Hari itu hari
kepulanganku untuk menilik kampung yang jauh di sana. Jauh dari kata kampung,
lebih lebih dari sekadar kampung, melainkan pelosok kampung. Kaki ini turun di
bandara SSQ internasional di Pekanbaru. Bandara yang sudah aku injak tiga kali,
dan kemungkinan empat kali jika esok aku kembali ke Yogyakarta.
Alasanku pulang tidak hanya sekadar
pulang. Pertama tentu aku rindu dengan kedua orangtua dan abangku yang kian
hari aku sadar aku mencintai dan membutuhkan mereka. Kedua, aku pulang sebab
aku ingin menilik kampungku. Apakah masih banyak permasalahan yang ada, dan
ternyata iya banyak sekali masalah yang aku temui. Dari masalah pendidikan yang
kian hari tidak berubah, dan berjalan di tempat. Pun masalah ekonomi yang
sekarang begitu rumit. Sawit tak ada kuncup dan sangat jarang berbuah. Akibat
dari buah sawit yang jarang dan juga perekonomian yang buruk, banyak sekali
usaha yang merugi atau masyarakat yang gulung tikar tak mampu membayar cicilan
bank.
Kata seorang
yang paham soal ekonomi dan pertanian, ini bukan semata-mata akibat
perekonomian yang anjlok , tapi juga karena asap yang terjadi lama di Riau
selama beberapa bulan kemarin. Hasil asap tersebut menghambat tumbuh kembang
penyerbukan, dan alhasil sekarang pohon sawit jarang yang berbuah akibat telat
penyerbukan. Di tambah lagi kemarau yang berkepanangan. Jadi semua dampak
terjadi saat ini, pun perekonomian memang sedang lemah sekali saat ini.
begitulah ceritanya mengapa banyak orang gulung tikar dan kredit macet. Tidak
ada buah sawit yang dipanen, jika adapun harganya sungguh memilukan. Dengan
demikian, lagi dan lagi sawit bukan maha raja yang tidak bisa rugi. Semua ada
masa jatuhnya.
Dan alasan terakhir aku pulang
karena aku ingin magang di sebuah
Koperasi Unit Desa. Koperasi itu berjalan dengan baik dan terus tumbuh,
sehingga aku ingin belajar saja mengapa bisa hidup demikian. Aku bisa saja
magang di perusahaan besar dan terkenal, tapi untuk apa aku magang di
perusahaan besar jika aku tidak diajarkan banyak hal. Di sini, di KUD ini,
mulai tanggal 28 maret 2016 aku magang dan diajarkan beberapa hal. Terutama
soal perhitungan yang matang untuk tidak merugi banyak. Pak Muliendri sebagai
kepala kopersi sungguh berdisiplin untuk urusan rugi tidaknya.
28 maret 2016
Hari pertama
magangku banyak sekali keresahanku. Pertama, pagi-pagi sekali pukul delapan aku
datang ke kantornya. Masih sepi. Kata Pak Muliendri, biasanya karyawan datang
jam Sembilan. Ya beginilah kehidupan kantor di desa, kadang para ibu-ibu sibuk
mengurusi anaknya sehingga telat untuk datang ke kantor. Tingkat kesadaran akan disiplin masih di bawah
rata-rata. Ini menjadi salah satu penghambat kemajuan suatu daerah. Disiplin
wajib ada sekalipun hanya seorang siswa kampung.
Hari yang
menurutku luar biasa, walau baru sehari namun Bapak Muliendri memberiku banyak
kesempatan belajar. Bukan belajar skill,
namun belajar soal pemikiran. Beliau bercerita bagaimana seharusnya berpikir
panjang, bukan berpikir setahun ke depan, namun dua puluh lima tahun mendatang
mau diapakan koperasi ini. Dan ada beberapa perencanaan yang di buat oleh
beliau, salah satunya membangun minimarket sendiri. Ya supermarket yang
sederhana saja, namun segala modalnya dari koperasi. Sekarang memang ada
minimarket “Halo” namanya, namun milik orang Cina. Mereka bekerjasama pada bagi
hasil. KUD mendapatkan 20% dari hasil penjualan. Tidak ada sistem kontrak
karena memahami kondisi desa yang masih sepi. Masyarakat masih terbiasa
berbelanja di pasar atau toko kelontong, bukan di minimarket seperti itu, jadi
Koperasi tidak menarget kontrak bangunan, hanya bagi hasil saja. Dan ini
menurutku suatu kemajuan, lebih maju lagi jika nanti yang memiliki bukan lagi
orang Cina, melainkan penduduk lokal. Aku berharap di masa depan anak-anak
Kerumutan yang memiliki tanah Kerumutan, bukan lagi orang asing yang tidak di
kenal. Salah satu harapanku adalah anak-anak sekolah inilah yang nantinya akan
meneruskan perjuangan nenek moyang dahulu dalam mempertahankan tanah. Sudah
cukup sekiranya anak-anak kerumutan selalu di pimpin orang asing.
Di koperasi ada
tujuh pegawai, namun hari ini aku hanya bertemu dengan Bu El, Bu Sri, Bapak Tri
asa, Bang Wahid, dan Pak Muliendri, ada dua lagi namun tidak datang. Ada Mas
Sus dan pekerja lapangan satu, namun tidak hadir entah mengapa. Untung aku
sudah siap mental sehingga pertama magang aku seperti seonggok kertas yang
sudah kumel tak dilirik sekali pun. Biarlah. Yang penting Pak Mulindri banyak
bercerita denganku tentang analisis ekonomi.
Pukul 12.30 aku
pulang. Ya memang kerjanya hanya setengah hari. dan setelah itu aku mengunjungi
SMP-ku dahulu. Tidak ada yang berubah setalah hampir ke sekolahku dahulu. Tujuh
tahun aku meninggalkan daerah ini, namun tiada yang berubah, begini saja tanpa
ada kemajuan. Bertambah pun hanya ada dua gedung baru untuk perpustakaan dan
untuk kantor para guru. Selain itu semua sama saja. Sepanjang aku berjalan
mengitari koridor sekolah itu, aku berfikir andaikan aku bisa banyak membantu.
Apa pun itu akan aku bantu.
14 April 2016
Ada banyak hal
yang sudah beberapa hari ini terlewati tanpa aku menulisnya sebagai catatan.
Bukan tidak ingin menulis, namun hawa kampungku membuatku bisu dan lesu tiada
bersemangat, barangkali memang disiplinku untuk menulis belum kuat. Di
kampungku tidak banyak yang aku lakukan beberapa hari ini. hanya melakukan itu
dan itu saja. Sebenarnya banyak yang ingin aku buat, namun terhalang oleh
kegiatan magangku di koperasi, dan juga aku sebagai wanita yang sulit sekali
bebas hidup di kampung. Boleh pergi pun, tiada kawanku. Segala kawan yang aku
punya dahulu sudah pergi merantau atau bahkan telah menikah dan memiliki anak,
sehingga aku tidak memiliki kawan di kampungku ini.
Setiap hari hanya bangun pagi, lalu
membantu orangtuaku memasak. Begitulah rutinitas perempuan di banyak tempat,
tidak hanya di kampungku. Memasak bukan hal baru bagiku walau aku lama
merantau, sudah sejak kecil aku terbiasa memasak apa saja. Guru terbaikku
adalah ibuku, juga sebagai malaikatku di dunia ini. selesai masak masih ada
jeda satu jam sebelum aku berangkat magang, kadang aku gunakan untuk duduk
merenung atau membuat kopi sembari sedikit membaca buku. Merenung tentang aku
akan hidup di mana, memiliki rumah tangga seperti apa, dan memiliki masa depan
yang bagaimana. Aku harus memutus tali kesulitan keluargaku, aku tidak ingin
hidup miskin lagi, tapi juga tidak ingin terlalu berambisi.
Tepat pukul delapan di mana matahari
di kampung sudah di bahu langit, aku melangkah menuju tempat magangku yang
tidak jauh. Tempat magang yang cukup sederhana, bahkan sangat sederhana. Pintu-pintunya
bercat putih sudah kusam. Ukurannya kecil, hanya seukuran rumah dengan dua
kamar, bahkan lebih kecil lagi. Tapi di dalam ruang mungil inilah segala
kegiatan besar untuk desa terjadi. Contohnya urusan penumbangan sawit yang akan
segera terjadi. Koperasi inilah sebagai penggerak utamanya. Semua anggotanya
sibuk ke sana dan ke sini mengurusi urusan peremajaan sawit tersebut.
Barangkali benar bahwa apa-apa yang
besar biasanya lahir dari yang biasa dan sederhana namun mau bekerja keras.
Dengan hanya tujuh karyawan koperasi dan ruangan yang cukup sempit ini lahirnya
banyak pemikiran besar di dalamnya. Terutama pemikiran kepala koperasi ini,
beliau tegas namun bijak. Tegas untuk urusan yang memang harus tegas, namun
bijak sekali dalam menangani segala masalah yang ada. Pandangannya tidak hanya
berpikir untuk dua atau tiga tahun mendatang, melainkan jauh berpuluh tahun
mendatang akan bagaimana kelanjutan koperasi ini. tidak boleh mati sebab sudah
susah payah di bangun dengan letih dan juga segala daya upayanya.
Writer : Putri Tami
Writer : Putri Tami
Terus berkarya kawan..
ReplyDeleteTulisan2 mu akan di baca dan didengar dunia...
Suatu hari nanti...
Tak kan ada yang sia2...
Hahaha, masih dalam proses belajar Jis.
Delete