Monday, 23 May 2016

Memecah Budaya Pasif, Mengembalikan Kreativitas Anak (SALAM)



Orang pandai makin banyak jumlahnya//Tapi kok hidup makin susah saja//Majunya zaman sangat mengagumkan//Tetapi derita malang melintang//Toga bukan lambang kedewasaan//Pecis tak menandakan keshalehan//Terkenal tidak berarti pakar//Pakar tidak mestijiwanya berakar//Gedungnya tinggi kelakuannya rendah//Hartanya mewah pribadi bubrah//Bukunya bertumpuk jiwa tak matang//Para pemimpin kerjanya menyusahkan//Memusingkan,, merepotkan,, menjengkelkan.... (Lyrik Oleh Cak Nun).

lyrik di atas hanya sebagai pembukaan saja, sebab dekimian relitas saat ini. Fokus saya pagi ini bukan bercerita soal apalah itu kebobrokkan demokrasi atau sarapan berita tidak mutu, namun saya akan menceritakan sedikit soal jalan-jalan sederhana saya selama dua hari (23-24 Mei 2016) ke sebuah sekolah "Sanggar Anak Alam (SALAM) yang memiliki alamat di Rt 04, Jl Nitriprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.


             Hari itu Minggu yang sepi di dalam dunia saya, sebab saya tidak begitu suka kebisingan yang memusingkan. Minggu itu saya mengajak sahabat saya, Ika.F untuk ke SALAM. Sebuah sekolah yang tidak pernah sedikitpun ada di dalam pemikiran saya tapi toh nyata adanya. Jangan heran kalau nanti ada yang berkunjung ke SALAM bingung memarkirkan kendaraannya. Kedaraan di parkirkan ke dalam gang yang khusus untuk parkir, sedangkan jika ingin masuk ke SALAM, kita secara tidak langsung diminta untuk berjalan sekitar beberapa meter lagi. Ya, hitung-hitung membiasakan berjalan walau beberapa meter kan ya?

          Foto yang ada di paling atas adalah foto jalan masuk menuju sekolah SALAM. Jalannya melewati hamparan sawah yang hijau, udara paginya sangat menyegarkan jiwa dan pemikiran, kebetulan pada saat saya ke sana sawah baru selesai panen, jadi hanya ada hamparan lahan tanah berpetak dengan genangan air, ingin rasanya saya ikut bapak-bapak membajak sawah, namun saya urungkan sebab sahabat saya, Ika .F tidak mau dan memilih untuk melanutkan ke SALAM. Jalan menuju sekolah SALAM hanya setapak, bahkan jika berpapasan dengan orang lain yang berbeda arah, kita harus mengalah. Belum apa-apa, sudah banyak sekali pelajaran yang saya ambil. Dari mulai sekolah SALAM yang tenang tanpa bising kendaraan, juga jalan setapak yang mengajarkan banyak kesederhanaan dan kepekaan.

Nah, beginilah sekolah SALAM dari tampak depan. Unik kan? beda sekali dengan sekolahan yang kita lihat kebanyakan. Sekolah dengan gedung tinggi, sempit dan sangat mengotak-ngotakkan diri, padahal di SALAM ini hanya ada batas imajinasi yang menjadi batas diri, bukan langit, bukan gedung,bukan juga pagar yang seperti penjara.

          Hari pertama saya datang ke SALAM, sangat sepi karena hari Minggu juga SALAM istirahat dari kegiatan biasanya. Ya akhirnya saya dan Ika hanya bermain prosotan seperti anak-anak. Ya, betapa indahnya masa anak-anak di SALAM ini, tidak seperti masa anak-anak ketika saya dahulu yang hanya tahu ruang kelas dengan dinding bisu dan tuli, ya dinding itu tuli tidak mendengarkan keresahan saya bahwa saya sebagai siswi yang jenuh, bosan, penat dan sungguh lelah ada di dalam kelas. Kalau saja waktu itu pemikiran saya sudah seperti ini, barangkali saya tidak mau sekolah, namun waktu itu saya hanyalah anak-anak dengan segala ketakutannya. Pendidikan di masa saya anak-anak membuat saya takut, jika tidak sekolah saya tidak bisa mewujudkan cita-cita saya, namun setelah sekarang memahami, sekolah tidak menjamin apa-apa.
 SALAM juga memiliki keunikan tersendiri, di sini para siswa bebas memanggil mentor mereka dengan sebutan apa saja, kakak, Mama, Bunda, Ibu, Kakak dan apa saja yang membuat siswa merasa ini adalah rumah untuk belajar.


            Dua foto di atas adalah foto anak-anak sekolah SD. Di SALAM ini kalau tidak salah ada hingga tingkay SMP, dan kebetulan saya hanya memotret anak SD nya saja. Loh kok anak sekolah tidak memakai seragam? itulah kreatifnya SALAM, mereka berpikiran bahwa pendidikan bukan menciptakan mesin atau robot yang wajib sama. Di SALAM kebebasan dan kreativitas anak dibebaskan. Yang paling penting adalah di sini para fasilitator menyayangi anak-anak ini. Sesuai buku yang saya baca dengan judul "Sekolah Biasa Saja," ditulis oleh Toto Rahardjo yang juga salah satu pelopor SALAM, juga suami dari Bu Wahya sebagai pemilik sekolah SALAM ini, menurut buku tersebut bahwa kasih sayang di dunia pendidikan sekarang mulai berangsur lenyap, padahal pendidikan saat ini masih membutuhkan rasa kasih sayang namun pada kenyataannya justru kasih sayang hilang berganti dengan banyaknya tuntutan yang dibalut dalam alasan kemandirian dan kedisiplinan.
Masalah disiplin jangan diragukan lagi, saat saya datang di hari kedua (Senin, 23 Mei 2016), saya menemui anak-anak ini disiplin sekali. Saat bel tanda untuk berlajar bersama di dalam gubuk berbunyi, langsung saja tanpa aba-aba anak ini masuk dengan semangat, berbeda sekali jika di sekolah pada umumnya, jika ada bel masuk berbunyi justru anak-anaknya terlihat malas. Sudah lama saya hanya menemukan anak-anak dengan wajah tertekuk, takut dan terbebani dengan namanya sekolah. Di SALAM tidak, justru anak-anak berlarian riang gembira laiknya anak-anak yang bahagia sekali. Di mana lagi saya bisa melihat anak-anak bergembira riang dan bahagia saat sekolah? di SALAM ini. SALAM menawarkan sesuatu yang berbeda.
Saat Jam makan siang, mereka semua makan bersama-sama sesuai dengan kelasnya masing-masing, terasa sekali suasana rumah di SALAM ini. Setelah makan, anak-anak langsung mencuci peralatan makan mereka sendiri. Lebih disiplin mana dengan kita yang sudah besar ini yang kadang setelah makan malas sekali membuang sampahnya, iya kan?


          SALAM bukan sekolah yang tertutup, sudah dikatakan di awal, bahwa imajinasi menjadi batas sekolah ini. Dan foto di atas adalah ruang sekolah anak SMP. Ruang yang berasal dari bambu itu adalah bantuan dari Australia, saya tidak paham betul siapa, namun dari negara Australia, itu saja yang saya ingat. Unikkan? semua kembali pada kesederhanaan dan keluhuran jiwa. Untuk apa gedung tinggi, fasilitas lengkap dan mewah namun hanya membuat manusia berpongah diri, lupa dari mana asal dan tujuan hidup? SALAM sudah memiliki siswa seratus lebih dengan banyak fasilitator. Para fasilitator yang begitu istimewa di mata saya, mereka ramah sekali, walau saya baru saja bertemu sekali dengan mereka, namun senyum-senyum indah itu mengembang dengan tulus. Saya merasa betah di sini, bahkan hingga enggan pulang sampai SALAM ini sepi, hanya ada gubuk sekolah yang bisu karena anak-anaknya sudah pulang. Hanya ada pepohonan di sana-sini biasa tempat anak bermain, atau justru memanjatinya. Ada hamparan sawah yang luas menjadi saya lebih merasakan menjadi diri saya sendiri tanpa ilusi dan ambisi yang berlebihan. Saya butuh ketenangan di tengah hiruk pikuk manusia yang mengaku mencari rezeki, tapi rezeki yang seperti apa jika hidup sudah lebih dari sekedar punya segalanya?

     Dari buku "Sekolah Biasa Saja" dapat saya rangkum bahwa Sekolah harusnya memecah kebisuan yang sudah lama terjadi di negeri ini//Sekolah seharusnya bagai taman bermain, dahulu gagasan ini pernah juga ditulis oleh Ki Hajar Dewantara//Sekolah bukan perusahaan yang menciptakan manusia berjiwa robot//Pendidikan adalah dasar dan Rakyat, bukan justru menciptakan tenaga kerja yang tunduk terhadap korporasi//Sekolah bukan juga tempat mencetak batu bata yang wajib sama rata dalam rupa, tingkah, laku, dan pemikiran, seharusnya keberagaman diri dibebaskan untuk menemukan potensi diri dengan tetap berjiwa manusia//Sekolah bukan kompetisi, bukan main unggul-unggullan, bahkan di SALAM ini tidak membutuhkan akreditasi, karena SALAM yakin pendidikan bukan mainan untuk dikompetisikan"

(Mau info lanjut, monggo hubungi mas Yudhis saja : 0856-4690-9594) 


Writer : Putri Tami 

No comments:

Post a Comment